Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Menggunakan "Planning Fallacy"


Jakarta
 - Proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menghadapi tiga masalah keuangan, yaitu kekurangan ekuitas dasar (base equity), pembengkakan biaya (cost overrun), dan defisit kas (cash deficit) pada masa operasi. Pernyataan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo saat rapat dengan Komisi VI DPR menghiasi halaman media massa minggu lalu.

Wakil Menteri BUMN mengakui adanya kesalahan perhitungan ekuitas di awal pembentukan konsorsium dan juga analisis perencanaan yang terlalu optimis. Pernyataan tersebut sebenarnya tidak terlalu mengagetkan karena sudah bisa diduga sebelumnya, namun tetap menyesakkan saat dibaca, apalagi di tengah berbagai berita tentang kondisi negara kita yang sedang tidak baik saat ini.

Kondisi di atas mengingatkan saya pada kasus pembangunan tram di Edinburgh. Ibu kota Skotlandia tersebut mempunyai sejarah transportasi yang mirip dengan Indonesia, atau Jakarta tepatnya, di mana sejak tahun 1871 menggunakan tram sebagai moda transportasi umumnya. Namun setelah tahun 1956 tram ini tidak digunakan lagi sehingga sistem transportasi massal Edinburgh hanya mengandalkan bus dan kereta komuter yang terbatas jalurnya.

Keinginan membangun kembali tram di Edinburgh muncul pada sekitar tahun 2000. Pemerintah kota Edinburgh ingin mengikuti sistem tram yang telah ada di Manchester, Birmingham, dan Nottingham. Setelah berbagai persiapan yang menghabiskan waktu cukup lama, pada tahun 2007 pembangunan tram yang menghubungkan pusat kota Edinburgh dan Edinburgh Airport tersebut dimulai.

Anggaran awal yang digunakan untuk membangun tram tersebut sebesar £498 juta (sekitar Rp 9 triliun rupiah saat itu) yang dibiayai sebagian besar oleh pemerintah Skotlandia dan sebagian lainnya oleh pemerintah kota Edinburgh. Pihak yang diberi wewenang untuk mengawasi dan menandatangani kontrak pembangunan proyek tersebut dengan konsorsium adalah Transport Initiatives Edinburgh (TIE), sebuah badan usaha yang dimiliki penuh oleh pemerintah kota Edinburgh.

Pembangunan tram ini tidak berjalan lancar. Banyak permasalahan yang timbul, antara lain pembengkakan biaya, pembatalan pembangunan beberapa jalur, timbulnya perselisihan dan ketidaksepakatan antara TIE dengan konsorsium yang menyebabkan pembangunan beberapa jalur tertunda, hingga adanya protes dari masyarakat dan pelaku usaha di Edinburgh yang terkena dampak pembangunan jalur tram tersebut.

Permasalahan-permasalahan tersebut membuat pembangunan tram sepanjang 14 km menjadi molor lebih dari 3 tahun, sehingga baru dapat diselesaikan pada tahun 2013. Total biayanya pun membengkak menjadi £776 juta (atau setara dengan Rp 15 triliun). Kasus pembangunan tram ini merupakan salah satu contoh planning fallacy atau kesalahan perencanaan.

Dalam bukunya Thinking, Fast and Slow Daniel Kahneman menjelaskan bahwa kasus planning fallacy ini dapat kita temukan di mana-mana, dari level receh seperti renovasi rumah hingga level megaproyek seperti pembangunan jalur kereta. Sudah jamak terjadi ketika orang merenovasi rumah, biaya yang dikeluarkan hampir selalu melebihi bujet yang direncanakan, bahkan kadang sampai lebih dari dua kali lipat.

Contoh kasus yang sangat terkenal dari kesalahan perencanaan adalah pembangunan Sydney Opera House. Pembangunan ikon kota Sidney pada tahun 1959 tersebut membutuhkan waktu 10 tahun lebih lama dari waktu yang dijadwalkan dan tambahan biaya hampir 100 juta dollar dari perkiraan biaya awal yang hanya $7 juta.

Kesalahan perencanaan skala besar juga terjadi pada pembangunan gedung parlemen Skotlandia di Edinburgh. Perkiraan biaya pembangunan pada proposal awal yang diajukan pada tahun 1997 adalah sebesar 40 juta poundsterling. Sampai dengan gedung tersebut selesai dibangun pada tahun 2004, realisasi biayanya mencapai 431 juta poundsterling, atau lebih 10 kali lipat dari perkiraan biaya awal.

Permasalahan serupa juga terjadi pada proyek pembangunan kereta di berbagai negara. Sebuah penelitian menyebutkan lebih dari 90% proyek pembangunan kereta yang dilakukan sejak 1969 hingga 1998 terdapat kesalahan perencanaan, antara lain dengan melebih-lebihkan proyeksi jumlah pengguna kereta api tersebut. Secara rata-rata jumlah perkiraan penumpang overestimated sebesar 106% dan realisasi biaya melampaui 45% dari perkiraan awal.

Sehingga kasus yang terjadi pada kereta cepat Jakarta-Bandung bukan sesuatu yang mengagetkan lagi. Kereta cepat Jakarta-Bandung awalnya diperkirakan menghabiskan biaya sebesar USD 6 miliar atau lebih dari Rp 80 triliun. Pemerintah memperkirakan biaya pembangunannya membengkak 25-30% atau sebesar Rp 20-27 triliun. Sangat mahal.

Yang menjadi pertanyaan, jika sudah terlalu banyak contoh kasus kesalahan perencanaan pada megaproyek, mengapa sampai saat ini hal tersebut masih saja terus terjadi? Salah satu penyebabnya, manusia seringkali bias terhadap hal-hal positif sehingga cenderung membuat prediksi yang terlalu optimis dan mengabaikan informasi yang bertentangan dengan keyakinan optimis tersebut.

Kahneman dalam penelitiannya menyebutkan bahwa para perencana seringkali menggunakan penilaian berdasarkan intuisi yang seringkali tidak akurat. Sedangkan ahli perencanaan dari University of Oxford, Bent Flyvbjerg menyatakan bahwa kesalahan utama yang terjadi adalah para perencana cenderung mengabaikan informasi dari luar (distributional information). Padahal sebenarnya kita bisa banyak belajar dari berbagai kasus yang terjadi sebelumnya.

Tidak hanya sekali saja planning fallacy ini terjadi. Kesalahan yang sama juga terjadi pada proyek pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW. Asumsi pertumbuhan ekonomi dan proyeksi peningkatan kebutuhan listrik yang digunakan saat perencanaan terlalu ambisius. Sedangkan kenyataannya pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sedahsyat yang dibayangkan dan kenaikan permintaan listrik tidak setinggi yang diharapkan.

Alhasil sejak dua tahun lalu terjadi oversupply pasokan listrik di Pulau Jawa-Bali, dan masih akan bertambah dengan adanya pasokan dari beberapa pembangkit yang baru selesai dibangun dan siap beroperasi tahun ini. Tanpa ada kebijakan yang revolusioner, PT PLN jelas akan menanggung beban pembelian listrik yang sangat besar tanpa bisa menjualnya lagi ke konsumen.

Lalu, apakah planning fallacy ini bisa dimitigasi atau dicegah? Jawabannya sangat bisa. Kuncinya, menggunakan menggunakan distributional information atau yang sering dikenal sebagai outside view. Flyvbjerg menyarankan para perencana mengumpulkan segala informasi yang terkait dengan satu proyek ke dalam satu big data. Contohnya dalam pembangunan kereta cepat ini antara lain data terkait biaya pembangunan jalur kereta per kilometer, biaya mana saja yang melebihi bujet, dan waktu pelaksanaan setiap tahapan yang melebihi jadwal, dari pembangunan kereta di berbagai negara. Semakin banyak data semakin baik.

Data-data tersebut dianalisis untuk kemudian dijadikan perkiraan dasar. Selanjutnya perencana harus menambahkan analisis atas informasi spesifik yang ada di setiap proyek untuk menghindari bias optimistik. Hal ini penting supaya pihak pengambil keputusan mendapat gambaran yang realistis atas proyek tersebut.

Untuk kasus kereta cepat Jakarta-Bandung yang sedang dalam proses pembangunan, analisis model Flyvbjerg tetap dapat dan perlu dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut untuk memitigasi tambahan biaya dan waktu yang mungkin terjadi di masa mendatang, sehingga pemerintah dapat menyusun way out dengan lebih seksama, termasuk melakukan renegosiasi dengan penyandang dana jika dimungkinkan, supaya proyek tersebut tidak menjadi proyek rugi di masa mendatang.

Perencanaan yang mendalam memang membutuhkan effort yang lebih keras dan waktu yang lebih lama. Namun jika dilakukan dengan benar, maka sebenarnya kita dapat menghemat waktu dan biaya triliunan rupiah.

(mmu/mmu)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama